♛Gita Risda Garnisya . . . . . ♛Gita Risda Garnisya . . . . . ♛Gita Risda Garnisya . . . . .♛Gita Risda Garnisya . . . . .♛Gita Risda Garnisya . . . . .♛Gita Risda Garnisya

Kamis, 05 Oktober 2017

Cerpen : Bersatunya Hati Pramuka Sejati



Bersatunya Hati Pramuka Sejati

Oleh : Gita Risda Garnisya
penulis baper


            Hari dan tempat pelaksanaan perkemahan sudah di tentukan. Irfan, Faujan, Asep dan Yusuf  pun sudah meninjau langsung tempat perkemahan tersebut. Tidak terlalu jauh memang, hanya melewati beberapa dusun dari tempat mereka tinggal. Mereka telah mempelajari kedaan tempat yang akan mereka jadikan tempat berkemah. Lagipula mereka tinggal di kaki gunung yang mana semua warga disana sudah sangat dekat dengan alam tidak terkecuali anak-anak kelas 5A ini. Pagi siang sore sampai malam mereka berbaur dengan alam, membantu orang tua di kebun, mencari kayu bakar di pinggiran hutan, mencari ikan di sungai, menggembalakan kambing, sapi hingga kerbau. Dan dari sanalah kemandirian dan keberanian mereka tumbuh.
            Irfan sedari kecil sudah cinta dengan pramuka sudah sering sekali berkemah bersama ayahnya. Jadi sudah barang tentu ia hafal betul tempat berkemah yang menyenangkan. Menurut Irfan tempat tersebut haruslah sesuai dengan persyaratan perkemahan salah satunya yaitu dekat dengan sumber air. Tempat yang mereka pilih ini mempunyai sumber air yang lumayan dekat, letaknya yaitu di balik bukit kecil sekitar pohon pinus berupa sungai berair jernih. Selain airnya jernih sungai itupun masih asri dan menjadi tempat hunian ikan. Sudah terbayangkan oleh mereka bahwa nantinya mereka akan menangkap ikan dan memanggangnya di api unggun.
            Saat ini Irfan yang sedang berdiri di depan kelas, dia menceritakan seluk beluk daerah yang akan di jadikan tempat berkemah dengan antusias. Kasak kusuk suara anak-anak lain pun mulai terdengar di ruang kelas 5A. Mereka semua sepertinya juga sudah sangat antusias dengan rencana yang memang sudah lama di bincangkan untuk mengisi liburan sekolah.
            Libur sekolah memang masih menghitung bulan namun mereka sudah sepakat bahwa acara liburan kali ini haruslah menyenangkan. Maka dari itu para siswa putra langsung mengajukan usul berkemah. Sedangkan siswi putri pun juga sepertinya mulai tertarik dengan rencana tersebut. 
            “Tapi kawan, perjalanan kita ke tempat yang akan kita jadikan tempat berkemah itu lumayan berat.” Kata Irfan. “Benar, untuk sampai ke sana kita harus melewati jalan-jalan kampung yang naik turun bukit” sambung Asep yang juga sudah mengetahui rute tempat berkemah.
             “Wah jika seperti itu apakan teman-teman yang lain akan mampu mencapai tempat perkemahan dengan tepat waktu dengan barang-barang yang sudah pasti kita bawa untuk perlengkapan berkemah, bagaimana jika di tengah jalan mereka mengeluh bukakah akan sangat merepotkan” kali ini Aldi angkat bicara sambal melirik pada sekumpulan siswi putri.
            “Loh, bukankan kita memang sudah terbiasa berjalan bahkan berlari naik turun bukit, jadi mengapa kamu  meremehkan kami para anak perempuan ?” sahut Jihan. Ia geram dengan sikap Aldi yang selalu meremehkan siswi putri. Padahal mereka semua satu kelas. “Lagipula itu semua tidak menjadi halangan bagi kami anak perempuan, benar kan teman-teman ?” kata Jihan dengan melirik anak-anak perempuan yang lain. Dan dengan mantap anak-anak perempuan pun mengangguk mantap.
            “Sudahlah-sudah ” kali ini Rosi sebagai ketua kelas mulai angkat suara. “Mengapa kalian jadi bertengkar begitu, ini tidak baik bagi kekompakan kelas kita” ujar Rosi lagi.
            “Bukan begitu Ros, kita hanya khawatir karena kemarin kita ber empat sudah melihat langsung medan yang akan kita tempuh. Karena itu aku pun sedikit meragukan anak perempuan sama seperti Aldi” kata Yusuf yang semakin menyudutkan anak-anak perempuan.
            “Sudahlah, kalian semua anak laki-laki memang seperti itu, selalu meremehkan anak-anak perempuan sama seperti kalian meremehkan kami pada saat turnamen olahraga pekan lalu.” Kali ini Widad yang berbicara karena Jihan ternyata sudah meninggalkan kelas di susul dengan anak-anak perempuan yang lain.
            Rapat kelaspun akhirnya selesai dengan diakhiri Rosi yang hanya bisa mengelus dada melihat kelakuan teman-temannya yang selalu berbeda pendapat. Posisi Rosi saat ini memang sangat tidak di untungkan, jabatannya sebagai ketua kelas menuntutnya bersikap netral. Dalam hati Rosi membenarkan perkataan siswa putra namun disisi lain ia juga mengerti perasaan para siswi putri.
            Di kantin sekolah anak-anak perempuan langsung mengambil tempat duduk yang nyaman. Memang di kelas 5A jumlah anak-anak perempuan lebih sedikit di banding dengan jumlah anak laki-laki. Siswi perempuan terdiri dari Jihan, Widad, Hesti, Venia, Intan, Andra dan Rena. Diantar mereka memang Jihanlah yang paling tidak suka apabila ada yang membeda bedakan antara siswa laki-laki dan perempuan, ia berperinsip bahwa jika sudah ada tekad yang kuat maka apapun bisa di lakukan anak-anak perempuan.
            “Ah, aku sangat kesal dengan sikap anak-anak laki laki itu” kata Jihan sambal menyeruput es the manis yang ia pesan dari mang Mamat. Di kalangan para pedagang memang katanya es teh manis buatan mang Mamat ini TOP banget.
            “Benar, aku juga kesal mereka selalu saja menganggap kita anak-anak perempuan hanya bisa unggul di dalam kelas saja.” Sahut Hesti.
            “Tapi memang ada benarnya sih apa yang dibilang Aldi, apa kita mampu mencapai tempat perkemahan dengan membawa barang-barang berat dan berjalan kaki” kali ini Venia sebagai satu-satunya anak yang selalu ranking satu di kelasnya. “Aku saja belum pernah berjalan jauh seperti itu, paling jauh aku berjalan ke sekolah.” Lanjutnya lagi.
            “Sudahlah Venia, kamu tidak perlu risau kita pasti bisa kalau kita semangat dan bertekad kuat lagipula jaraknya tidak terlalu jauh hanya harus naik turun bukit kecil saja. Lagi pula kamu kan sudah susah payah meminta ijin dari orang tuamu” Kata Andra sambal menepuk bahu Venia perlahan, untuk memberi semangat.
            “betul itu, asal ada tekad dan semangat yang kuat kita pasti bisa teman teman” kini Widad yang baru dating langsung ikut bergabung, sembari menyeruput es teh manis Jihan. “Iya kan teman-teman ?” sambungnya dengan menatap ketujuh temannya. Dan langsung di sambut seruan “Semangat !” dari teman-temannya termasuk Intan, Salsa dan Rena yang memang tidak banyak bicara.

            Hari yang ditunggu-tunggupun akhirnya tiba. Setiap siswa meminta ijin dan restu untuk mengikuti perkemahan ini dengan orang tua masing-masing. Beberapa orang tua memang khawatir namun setelah mengetahui lokasi dan keamanan tempat maka mereka pun memberi ijin.
            Para siswa laki-laki sejak semalam memang sudah berkumpul dan menginap di rumah Irfan untuk mempersiapkan segalanya. Dengan penuh semangat mereka membagi tugas untuk membawa barang-barang untuk berkemah. Pembagian tugas dilakukan oleh Rosi sang ketua kelas yang dianngap paling dewasa pemikirannya agar pembagian tugas adil dan merata.
            Siswa laki-laki membagi diri menjadi dua kelompok (regu)  sesuai petunjuk Rosi. Regu pertama yaitu regu Singa yang di ketuai oleh Faujan dengan anggota Irfan, Aldi, Riffa, Dodong, Alfath, dan Yusuf sedangkan kelompok dua yaitu regu Macan diketuai oleh Rosi sendiri dengan anggota Hidayat, Asep, Faizal, Arief, Radit, Debi, dan Yuda. Mereka saat ini sibuk berkemas daan sebagian lagi sibuk membersihkan diri.
            “Untunglah para anak-anak perempuan tidak ikut perkemahan ini, jika mereka ikut sudah dapat di bayangkan semakin beratlah beban kita.” Kata Aldi sambal memasukan barang bawaannya.
            Kokok ayam dan suara adzan di masjid mulai terdengar. Mereka kini sudah siap dengan pakaian pramuka namun tidak lupa mereka melaksanakan shalat subuh berjamaan di masjid dekat rumah Irfan. Selesai shalat mereka langsung bersiap memakai perlegkapan dan sarapan. Tas ransel yang mereka gendong di punggung tampak menggembung karena penuh berbagai barang namun tidak lupa Irfan mengajarkan bahwa penataan di dalam tas harus seuai agar nanti tidak mudah lelah, seperti menyimpan barang yang ringan di bagian bawah tas. Tak lupa setiap orang membawa satu tongkat. Yang pasti sangat banyak gunanya di perjalanan maupun di perkemahan.
            “Baiklah kawan-kawan, matahari sudah menyambut kita. Sebaiknya kita segera berangkat namun sebelum itu sebaiknya kita berdoa terlebih dahulu agar perjalanan kita lancar sampai tujuan. Berdoa di mulai” Irfan memimpin doa sebelum perjalanan di mulai. Semua siswa putra berdoa dengan sepenuh hati dengan semangat yang membara.
            Di tempat lain, Venia sedang mengikat rambutnya di depan cermin, rambut ikalnya di ikat seperti ekor kuda kemudian dengan wajah berseri ia mengambil topi pramukanya. Di sampingnya nampak Andra dan Jihan sedang memasukan barang-barang ke dalam tas, sedangkan Rena dan Widad sedang meyiapkan tujuh pasang sepatu yang sudah berjejer di depan pintu. Dari dapur juga muncul Hesti membawa beberapa bungkusan nasi dan beberapa bungkusan lauk pauk. Ternyata mereka sejak semalam  menginap di Rumah Venia. Mereka sudah memakai pakaian pramuka lengkap setelah shalat subuh  tadi.
            “Baiklah, barang-barang sudah di tata dalam tas. Makanan pun sudah siap untuk di bawa.” Kata Jihan. “Bagaimana dengan tongkatnya apa kalian membawa seorang satu ?” tanyanya lagi.
            “Sudah, tadi sudah ku hitung tongkat  nya, ada tujuh buah”
            “oke, sip. Karena kita baru selesai sarapan tidak baik apabila langsung memulai perjalanan . Kalau begitu duapuluh menit lagi kita berangkat. Jika tidak cepat maka kita akan di dahului oleh anak-anak laki-laki.
            Jauh dari perkiraan anak-anak laki-laki, ternyata anak-anak perempuan sudah membulatkan tekad untuk mengikuti acara perkemahan tersebut. Rute sudah mereka ketahui dari cerita Irfan saat rapat kelas maka tidak ada hambatan lain yang menghalangi mereka untuk mengikuti perkemahan. Lagipula ternyata lokasi mereka akan berkemah dekat dengan rumah kakek dan nenek Rena. Jadi mereka tidak perlu khawatir. Dan Rena pun sudah menjelaskan bahwa ia hafal betul daerah itu karena dekat perkebunan kakek neneknya. Sejak kecil ia sudah sering sekali bermain disana.
            Dua puluh menit kemudian mereka sudah berangkat dengan diawali berdoa bersama. Dengan langkah mantap, mereka mulai berjalan. Rumah demi rumah penduduk mereka lewati. Beberapa anak kecil bersorak-sorak melihat kakak-kakak nya memakai seraga pramuka dengan gagah seperti pasukan wanita yang akan pergi berperang.
            Di tempat lain, satu setengah jam perjalanan anak-anak laki laki mulai memasuki areal perbukitan mereka dengan semangat membara terus berjalan sambil sesekali bersenandung ria.
            “Kami regu singa dan regu macan akan selalu menerjang badai, walau rintangan menghadang semangat kami tak akan pernah hilang.” Yel yel mereka sangat lantang di kumandangkan. Para petani bawang tersenyum melihat semangat anak-anak itu. Mereka bangga bahwa di jaman sekarang masih ada anak yang mempunyai semangat tinggi seperti itu.
            “Selamat pagi pak ,,,selamat pagi bu,,,” Faujan berkata ramah ketika melewati beberapa petani bawang. “Ujang-ujang mau pada kemana ini, ko kelihatannya semangat sekali?”  tanya bapak-bapak petani bawang. “Kami ingin ke dusun Kembang pak di balik bukit” jawab Faujan` “Kami permisi dulu pak” sambung faujan. “Iya hati-hati jang”.
            Kelimabelas anak tersebut kembali berjalan menelusuri kebun bawang. Namun di perjalanan tiba-tiba Riffa berhenti dan langsung terduduk di pematang perekbunan tomat sambal memegangi kakinya.
            “Yud, kamu kenapa ?” tanya Rosi sebagai ketua regu macan. “Gak tau nih, kakiku sakit sekali rasanya perih, sebenarnya sedari tadi sudah di tahan tapi ternyata aku tidak kuat” kata Yuda lirih. Yuda yang bertubuh gempal itu terlihat menahan sakit dan selain itu ia pun terlihat kelelahan.
            “Ayo cepat buka sepatunya” Debi yang memang teman sebangku Yuda langsung meminta bantuan kawan-kawannya untuk membuka sepatu Yuda. Dan ternyata benar, tumit Yuda berdarah karena lecet oleh gesekan sepatu dan kaos kakinya.
            “Wah kakimu berdarah Yud, kenapa kamu baru bilang sekarang?” kata Debi lagi. “Yud, seharusnya kamu bilang dari awal supaya lukanya tidak seperti ini. Sambung Hidayat.
            “Iya maaf, aku malu untuk bilang karena kalian sangat bersemangat aku fikir aku akan tahan sampai kita tiba di tempat perkemahan.” Yuda tertunduk menahan perih di kakinya. Ia malu pada teman-temannya karena pasti dengen kondidinya yang seperti ini akan menghambat perjalannan mereka.
            Akhirnya regu singa dan regu macan sepakat untuk  beristirahat di salah satu “saung” di area kebun bawang. Arief, radit, Dodong dan Alfath mencari sumber air yang bersih untuk mencucui luka Yuda karena tidak mungkin mencuci luka dengan persediaan air minum mereka yang tinggal sedikit sedangkan perjalanan mereka masih beberapa jam lagi. Sedangkan yang lain menunggu di saung sambil memikirkan rencana selanjutnya yang pasti sudah sedikit berubah karena keterlambatan mereka tiba di tempat perkemahan.
            Sedangkan saat ini regu melati sudah mulai memasuki area perbukitan kebun bawang. Mereka tersenyum ramah pada para petani bawang yang mereka lewati malah beberapa kali saling bertegur sapa. Hingga mereka bertemu sepasang suami istri petani bawang saat mereka sedang beristirahat sebentar untuk minum. Bapak itu langsung bertanya “Loh, neng-neng ini mau ke dusun kembang di balik bukit itu ya?” katanya. “Iya pak, kok bapak tau kami mau ke sana ?” tanya Jihan. “Tadi, bapak melihat anak-anak laki-laki sepantaran kalian juga lewat sini pakai pakaian pramuka juga.” Bapak itu pun menceritakan perjumpaannya dengan regu macan dan singa.
            “Wah kalau begitu kita sudah tertinggal, aku fikir kita akan tiba di sana lebih dulu.” Kata Widad sambil menekukkan wajahnya. Ia sudah membayangkan bahwa kelompok melati yang berangkat sejak setelah subuh tadi akan tiba terlebih dahulu dan membalas perlakuan para anak laki-laki.
            “Sudahlah tidak apa apa. Sepertinya rencana kita mendahului mereka gagal total” sambung Intan.
            Bapak dan Ibu petani tadi mendengarkan seluruh percakapan anak-anak regu melati. Dan akhirnya ibu itu berkata “neng-neng semua mau cepat sampai di dusun Kembang ?”
            Serentak anak-anak regu melati pun berkata “Iya bu”
            “Wah kebetulan sekali, rumah ibu memang di sana dan sekarang ibu mau pulang. Lagi pula ibu tadi hanya mengantarkan bekal makanan untuk bapak saja. Ayo neng kita berangkat sekarang, ibu tau jalan memotong untuk tiba di sana” Kata ibu tadi. Dan ibu itu berpamitan dengan suaminya begitu juga dengan anak-anak regu melati. Wajah ceria penuh semangat kembali menghiasi langkah regu melati.
            Di tengah perjalanan mereka sangat senang mengobrol dengan ibu Tuti. Ternyata jalan memotong itu melalui jalan kecil menanjak yang melewati pematang kebun bawang. Kemudian melewati pematang kebun tomat yang berakhir di ujung pematang yang ternyata sebuah sungai. Anak anak regu melati bingung karena tidak melihat jembatan di sana. Namun bu Tuti terlihat tenang dan berbelok kearah jalan kecil di kanan pematang yang jalannya hampir tertutup semak-semak. Dan terrlihatlah jembatan kecil yang terbuat dari bamboo dan sangat rapih. Akhirnya merekapun meniti jembatan dengan hati-hati secara bergiliran.
            “Nah anak-anak inilah jalan pintas kita. Kalau jalan yang kalian lalui tadi itu memutari bukit sedangkan jalan ini melewati bukit walau harus naik turun namun jalan ini membawa kita lebih cepat ke dusun kembang. Tapi kalian harus hati hati jika lewat sini jangan sampai tidak dengan orang dewasa, bahaya jalannya agak licin.” Kata bu Tuti menasehati. Anak anak regu melati pun mengangguk faham.
             “Bu, ibu sudah sering ya pulang pergi dari rumah ke kebun dengan bapak ? apa tidak lelah berjalan sangat jauh ?” tanya Venia yang berjalan di samping ibu Tuti.
            “Tidak, ibu sangat suka sekali berjalan melewati bukit ini. Melewati sungai dan perkebunan, itu sangat menyenangkan. Ibu merasa lebih dekat dengan alam dan anak ibu juga sangat suka sekali melewati jalan ini di bandingkan jalan kampung.”
            Tak terasa, anak-anak regu melati sudah tiba di perbatasan dusun.  Ternyata jalan yang mereka bayangkan akan melelahkan sangatlah menyenangkan. Dan regu melatipun berpamitan pada bu Tuti dengan mengkatakan banyak terimakasih. Regu melati dan Bu Tuti berpisah di persimpangan jalan. Ternyata Bu Tuti mempunyai anak yang mungkin saat ini seusia mereka hanya saja lima tahun lalu anaknya meninggal karena sakit. Bu Tuti berkata bahwa Ia bangga pada anak-anak seperti mereka Karena masih mau berbaur dengan alam dalam kegiatan pramuka. Bu Tuti berpesan agar anak-anak regu melati menjadi anak-anak yang mandiri dan bertanggung jawab.
            “Sepertinya bu Tuti sangat sayang ya pada anaknya ?” kata Hesti setelah mereka melambaikan tangan pada Bu Tuti dan melanjutkan perjalanannya. “Benar, aku sampai terharu mendengar ceritanya” timpal Widad. “Aku juga, jadi rindu ibu di rumah” kali ini Venia berkata lirih dan tanpa di komando semuanya tiba-tiba berpelukan. Mereka kini merasakan betapa besar cinta seorang ibu dan mereka juga bersyukur sampai saat ini mereka masih bisa bernafas, masih bisa merasakan pelukan kedua orang tua di rumah. Mereka bertekad bahwa mereka akan menjalani hidup dengan sangat baik dan penuh rasa syukur.
            “Hey, bagaimana dengan kakimun Yud ?” kata Faujan pada Yuda yang sedang berjalan dengan agak terpincang-pincang. Kini kaki kirinya sudah di balut perban. Lukanya tidak seberapa hanya saja jika dipaksakan memakai sepatu maka lukanya akan semakin besar. “Sudah Fau, aku sudah tidak apa-apa. “Terimakasih teman-teman” kata Yuda sambil tersenyum. Merekapun melajutkan kembali perjalanan masih dengan senyum dan semangat.
            Beberapa jam kemudian tibalah mereka di tempat yang telah mereka tentukan.
            “Selamat datang kawan…akhirnya tiba juga di tempat ini. Selamat untuk kita semua regu singa dan macan” Kata Irfan denga n bangga. Di raihnya tangan Faujan dan Rosi “Selamat untuk kalian, kalian ketua regu yang hebat.” Dengan serempak mereka semua bertepuk tangan daan bersorak.
            Tak perlu waktu banyak, para anak laki-laki sibuk mendirikan tenda, mereka saling membantu. Beberapa anak yang ahli pionering langsung membuat tihang bendera, tandu dan rak sepatu juga pagar, sebagian lagi membuat dapur dadakan untuk nanti memasak. Setelah semuanya selesai mereka berkumpul.
            “Nah tugas kita yang pertama sudah selesai, setelah ini yang harus kita lakukan adalah mencari kayu bakar dan air. Kita bagi tugas. Semua anggota regu macan kecuali Yuda bersama saya mencari kayu bakar, sedangkan anggota regu Singa silahkan pilih empat orang mengambil air dan tiga orang sisanya menjaga tenda sambil siapkan bahan-bahan makanan karena kita akan memasak.” Rosi memberi komando, dan pergilah semua anggota regu Macan untuk mencari kayu bakar. Sedangkan Yusuf, Aldi, Riffa, dan Dodong mengambil air dan sisanya Irfan, Alfath Faujan  menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak dibantu Yuda yang kakinya masih sakit.
            Jalan untuk menuju sumber air tidaklah terlalu jauh hanya melewati jalan kecil berbukit. Dan saat sudah terdengar suara gemericik air Yusuf, Aldi, Riffa dan Dodongpun langsung bergegas. Tapi tanpa mereka duga jalan mereka terhalang pagar kayu setinggi perut. Merekapun terkaget-kaget saat melihat ternyata bendera regu melati telah melambai-lambai di atas sebuah tongkat pramuka. Tidak jauh dari sana terlihat bebrapa anak regu melati sedang beristirahat. Beberapa anak sedang makan. Dan seolah menyadari adanya orang lain di dekat tenda mereka, beberapa anak perempuan menoleh pada Yusuf, Aldi, Dodong dan Riffa yang menatap mereka semua.
            “Wah-wah, rupanya ada anak-anak laki-laki disini. Mau apa kalian kesini” kata Jihan ketus.” ,
            “Kenapa kalian bisa ada disini ?” Aldi balik bertanya. Ia bingung, kenapa bisa anak-anak perempuan ini ada disini. Bukankan regu singa dan macan sudah berangkat sedari subuh mula. Tapi mengapa mereka tidak bertemu regu melati di perjalanan. Apa mereka berkemah sedari kemarin. Tapi tidak mungkin juga karena kemarin Aldi jelas-jelas melihat Andra melintas di depan rumahnya kemarin sore. Jika mereka berangkat malam, itu juga tidak mungkin.
            Berbagai pertanyaan bermunculan di kepala Aldi, begitu juga dengan Yusuf, Dodong dan Riffa, yang hanya terbengong-bengong melihat tenda yang sudah berdiri sempurna dengan segala peralatan lainnya.
            “Kenapa kalian selalu saja meremehkan anak-anak perempuan. Lihatlah saat ini kami lebih unggul daripada anak-anak laki-laki” kata Jihan dengan senyum mengejek.
            “Memang benar, anak-anak perempuan itu manja, dan sangat menyusahkan.” Gerutu Aldi yang suaranya terdengar sampai telingan anak-anak perempuan terutama Jihan yang berdiri di hadapannya.
            “Kamu memang sombong, kenapa kamu selalu saja memojokkan dan merendahkan kami karena kami anak-anak perempuan. Asal kalian tau, kami anak-anak perempuan juga bisa melakukan apa yang laki-laki lakukan.” Tegas Jihan dengan suara yang agak tinggi.
            “Sudahlah-sudah, kenapa kalian berdua bertengkar. Jihan, kami tidak merendahkan kalian hanya saja seperti yang aku katakan saat rapat tempo hari, kami hanya khawatir pada kondisi anak-anak perempuan. Dan memang saat ini kalian telah berhasil membuktikan pada kami bahwa kalian hebat, kami akui itu” kali ini Yusuf berusaha melerai.
            “Itu menurut kamu Yusuf, tapi apakan anak-anak laki laki yang lain berfikiran sama sepertimu ? Mereka pasti masih saja merendahkan kami anak-anak perempuan.” Kata Jihan lagi.
            Semua terdiam, Dodong dan Riffa pun hanya saling melirik satu sama lain. Sedangkan Aldi memilih untuk pergi dengan cara yang menurut Jihan tidak sopan.
            “Lihatlah teman mu itu Yusuf, apakah baik bersikap seperti itu ? kalian sama saja.” Kata Jihan sambil berbalik menuju tenda meninggalkan ketiga anak-laki laki yang masih kebingungan. Yusuf akhirnya berteriak supaya Jihan dan teman-temannya mendengar “Baiklah Jihan saya akan berbicara pada yang lain agar mereka mau meminta maaf”. Jihan hanya menengok sekilas kemudian masuk ke dalam tenda dan anak-anak perempuan yang lain hanya menatap dengan tatapan yang sulit dimengerti.
            Setelah berbicara seperti itu, Yusuf, Dodong dan Riffa pun berbalik hendak kembali ke tenda mereka. Namun baru beberapa langkah seseorang memanggil mereka .
            “Ini ambilah, aku tau kalian sangat butuh ini. Pasti kalian belum makan.” Hesti memberikan dua  ember air yang  banyak untuk memasak. “Tenang saja, Jihan mengijinkan dia juga pasti tidak tega melihat kalian kelaparan. Lagipula kita kan masih teman satu kelas” kata Hesti lagi. Kali ini senyum merekah dari ketiga anak laki-laki tersebut. Mereka bersyukur karena ternyata anak-anak perempuan masih peduli pada mereka.
            “Baiklah Hesti, sampaikan terimakasih ku pada seluruh regu melati. Kami permisi dulu.” Kata Yusuf dengan menerima air tersebut dan memindahkannya ke ember yang sudah mereka bawa sendiri.
           
            Anak-anak yang medapat tugas mempersiapkan bahan-bahan untuk  memasak sudah lama menunggu kedatangan Yusuf, Dodong dan Riffa. Karena walaupun Aldi sedari tadi sudah tiba di tenda duluan hanya menjawab tidak tau saat di tanya mengenai air yang mereka ambil. Mereka tidak mendapat informasi apapun dari Aldi karena dia hanya diam seribu bahasa membuat teman temannya kesal sendiri.
            Akhirnya ketiga anak yang diberi tugas mengambi air tiba di tend.  “Lama sekali kalian” tanya Irfan.  “Bukannya air di sungai itu sangat banyak, tidak mungkin sungai itu tiba-tiba kering dan kalian mencari ke tempat lain yang lebih jauhkan ?” tambah Irfan lagi.
            Mereka bertiga saling pandang dan mereka menemukan Aldi di tenda. Ternyata Aldi tidak bercerita apapun tentang pertemuannya dengan regu melati kata Yusuf dalam hati.
            “Sebenarnya kami tadi bertemu dengan anak-anak perempuan.” Ucap Dodong.
            “Anak-anak perempuan yang mana ?” tanya Yuda yang sejak tadi sibuk memijit-mijit kakinya yang masih sakit.
            “Mereka,,,regu melati. Regu melati ada disini, mereka berkemah disini” Kata Yusuf yang kemudian menunggu reaksi teman-temanya.
            Namun tiba-tiba terdengar sebuah suara dari belakang Yusuf  “Apa ? regu Melati ? mereka disini ?” ternyata Rosi yang baru tiba dengan kayu bakar di tangan mendengar ucapan Yusuf. “Kapan mereka tiba disni ? bukankah kita berangkat pagi-pagi buta dan di perjalanan pun kita tidak bertemu mereka.” Rosi sangat terkejut. Bukan aapa-apa dia selaku ketua kelas merasa kaget karena ia memiliki tanggung jawab yang besar pada acara kali ini. Ia khawatir, namun tak dapat dipungkiri ia juga bangga akan keberanian dan semangat anak-anak perempuan di kelasnya.
            “wah rupanya kita sudah kebobolan. Mereka pasti tau tempat ini karena kita kan mendisusikan rencana perkemahan ini di dalam kelas dan mereka semu hadir disana. Rupanya mereka merencanakan hal yang sama juga.” Kata Radit.
            “Seharusnya saat itu, kita tidak membahas rencana perkemahan ini di kelas agar mereka anak-anak perempuan tidak ikut dalam perkemahan ini”  kata Aldi pula dengan tetap berwajah masam karena kesal.
            “Tapi mereka juga tidak salah, karena memang bukankah rencana perkemahan ini acara kelas. Maka sudah sewajarnya mereka tau” timpal Faujan.
            “Benar teman-teman kita ini anggota kelas lima, kita ini seharusnya seperti sebuah keluarga yang selalu bersama-sama. Bukan terpecah belah seperti ini. Harusnya kita malu, mereka anak perempuan bukan keras kepala tapi kita lah yang sombong. Jangan kira karena mereka perempuan dan tidak bisa mengikuti perkemahan seperti ini. Malah jujur aku bangga pada mereka regu melati, mereka berani, mereka pintar, entah bagaimana caranya mereka tiba disini lebi dahulu kita harus hargai mereka.” Kali ini Rosi berkata dengan segenap jiwa. Ia meraih teman temannya agar mereka sadar bahwa kesombongan itu tidaklah baik. “Apa kalian lupa cerita bu Guru tentang para pejuang  kemerdekaan tidak semua laki-laki banyak juga pejuang perempuan, ada Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Cut  Nyak Dien, Cut Mutia dan masih banyak lagi. Mereka membuktikan bahwa wanita juga memiliki hak yang sama dengan kaum pria mereka juga pemberani dan berhati mulia. Ingat bagaimanapun kita laki-laki, tidak pantaslah untuk bertengkar dengan perempuan.” Tambah nya lagi.
            Mendengar kata-kata Rosi. Semua anak laki-laki terdiam.
            “Benar, sebagai laki-laki kita harus berjiwa kesatria, Ingat Dasa Dharma Pramuka yang ke tiga, Patriot yang sopan dan kesatria.” Tambah Rosi lagi.
            “Baiklah Ros, sebaiknya kita harus meminta maaf pada mereka. Bagaimana teman-teman kalian mau kan meminta maaf terlebih dahulu pada regu melati ?” Faujan memandangi teman-temannya satu persatu hingga mereka mengangguk tanda setuju. Terakhir pada Aldi “Aldi bagaimana ? kamu mau kan ikut kami untuk meminta maaf pada regu melati ?” tanya Faujan lagi.
            Aldi menoleh sebentar lalu mengangguk sedikit. Namun Faujan mengerti sifat kawannya yang satu itu.
            “Baiklah nanti kita temui regu melati setelah shalat dzuhur. Biar air yang kalian bawa tadi kita gunakan dulu untuk berwudhu, bagaimanapun kita tidak boleh mninggalkan shalat.” Kata Rosi.
            Setelah selesai shalat,  Faujan dan Rosi selaku ketua dari regu macan dan regu singa bergegas menuju tenda regu melati. Sebelum mereka berdua  berangkat, Aldi membisikan sesuatu pada Rosi . Rosi mengangguk, kemudian pergilah ia bersama Faujan.

            Sementara itu waktu sudah hampir sore. Matahari yang tadi bersinar sangat terik di atas kepa mereka kini mulai bergeser kearah barat. Anak-anak perempuan sedang membersihkan peralatan memasak mereka.
            Dari kejauhan terlihat Rosi dan Faujan menghampiri tenda mereka. Tenda yang dibuat regu melati memang hampir seluruhnya menghalangi jalan untuk menuju sungai, mereka membuat tenda di antara pohon-pohon yang berdaun rendah  hingga terasa sedikit sejuk karena sinar matahari tidak langsung menerpa tenda mereka.
            “Ada apa kalian semua datang kesini ?” tanya Widad dengan ketus. Kemudian di susul suara Jihan yang keluar dari tenda. “Atau kalian mau menyerbu kami ? kalian fikir kami takut” kata Jihan lagi tidak kalah ketus. Mendengar Widad dan Jihan maka anak-anak perempuan yang lainpun ikut berbaur dengan Jihan dan Widad.
            “Tidak Jihan, kami tidak ingin bertengkar. Kami hanya ingin meminta maaf pada kalian.” Kata Rosi. “Kami tau, kami sangat sombong hingga merendahkan kalian. Kami mengaku  kalah, kalian memang hebat” tambahnya lagi.
            “Benarkah kalian meminta maaf ? bukan karena kalian ingin di perbolehkan mengambil air di tempat kami ?” kata JIhan.
            “Bukan Jihan, bukan. Kami benar benar minta maaf.” Kata Faujan.
            “Baiklah, permohonan maaf kalian kami terima” kata Jihan  mewakili anggota regu melati yang lain. Akhirnya mereka berjabat tangan tanda berdamai.
            “Namun, sebelum kami kembali ke tenda, kami ingin meminta permohonan pada kalian ?” kata Rosi. Faujan hanya memandang bingung.
            “Permohonan apa itu, katakanlah” kata Jihan
            “Aku mau kalian pindahkan tenda kalian dari sini”
            “Loh kenapa ? apa agar kalian leluasa mengambil air melewati tenda kami ?”
            “Bukan begitu Jihan. Apa kamu lupa pelajaran  pramuka bahwa tanah yang lapang lebih aman daripada berkemah diantara pepohonan dan akar-akar besar seperti ini. Semak semak seperti ini berbahaya karena ular dan binatang lain tinggal di tempat seperti ini. Lagipula kalian hanya bertujuh, lebih baik kalian membuat tenda di dekat tenda kami bagaimanapun kita harus saling melindungi satu sama lain” Kata Rosi menasehati.
            Jihan dan anak-anak perempuan terdiam membenarkan kata kata Rosi. Jihan akhirnya menyetujui saran Rosi karena memang benar akan sangat menyeramkan berkemah di sini

            Beberapa jam kemudian, mata hari kini benarbenar di telan bumi menyisakan guratan-guratan merah yang sangat cantik di langit. Beberapa anak perempuan sibuk mendirikan tenda regu melati, di bantu dengan anak-anak laki-laki dari regu macan dan regu singa. Sebagian lagi menyiapkan makanan dan sebagian lagi membersihkan badan ke sungai secara bergiliran.
            Hingga malam tiba mereka masih sibuk. Kini tenda regu melati sudah berdiri hanya tibggal merapikan barang-barang bawaan mereka saja. Tenda anak-anak perempuan berada di sebrang tenda regu macan hanya dibatasi pagar yang mereka bawa dari rumah.
            Jam 8 malam setelah shalat isya berjamaah, mereka semua berkumpul mengitari api unggun. Sebelumnya saat menjelang maghrib ternyata Bu tuti dan suaminya berkunjung dan membawakan mereka ikan mas dan beberapa jagung untuk mereka.  Kini mereka dengan lahapnya menyantap ikan mas bakar dan juga jagung bakar dari Bu Tuti.
            Memang semuanya di luar rencana ternyata di malam pertama ini mereka akan berkumpul dalam perkemahan bersama-sama di bawah sinar bulan purnama yang sangat indah. Kini ketegangan antara regu melati dengan regu macan dan singa sudah terlupakan. Kali ini mereka makan bersama, bekerja bersama dan tertawa bersama. Yuda yang kakinya sempat terlukapun kini sudah lebuh baik karena sore tadi Intan yang membawa kota P3K lengkap langsung mengobati kembali kaki Yuda yang tadi siang  hanya di obati sedanya.
            Api unggun makin berkobar. Selesai makan kali ini mereka dengan khidmat menyanyikan lagu bersama sama diiringi oleh Hidayat yang bermain gitar. Malam  makin larut namun mereka semakin semarak. Beberapa anggota keamanan desa setempat beberapa kali melihat keadaan perkemahan karena tetap saja anak-anak ini masih duduk di bangku sekolah dasar dan masih butuh penjagaan orang dewasa.
            Di tengah kemeriahan acara api unggun, Aldi tiba tiba berdiri di hadapan teman temannya. Beberapa anak yang sedang bernyanyi langsung berhenti, mereka semua menatap Aldi dengan heran.
            “Teman-teman aku mau meminta maaf pada regu melati terutama pada Jihan. Aku selalu bersikap buruk pada kalian anak-anak perempuan. Sebenarnya aku iri karena kalian selalu lebih unggul daripada anak-anak laki-laki di dalam kelas. Dan saat ini aku sadar bahwa kalian memang hebat” ucap Aldi dengan di akhiri tepukan tangan dari semua anak.
            “Terimakasih Aldi, saya bangga mempunyai teman spertimu yang mau mengakui kehebatan orang lain. Baiklah teman-teman semua, malam ini marilah kira rayakan bersatunya kembali kelas kita tanpa permusuhan tanpa pertengkaran.Semoga kelas kita akan selalu kompak seperti ini.” Kata Rosi yang menghampiri Aldi di iringi tepuk tangan dari semua anak-anak yang ada disana.
            Kali ini Irfan yang berdiri maju ke depan teman-temannya menghampiri Rosi dan Aldi.
            “Benar sekali, selain itu saya mewakili anak-anak laki laki sekalimengucapkan selamat kepada regu melati. Kalian hebat dan kalian pemberani  regu melati, dan ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Bagaimana kalian tiba di sini tanpa berpapasan dengan kami ?” tanya Irfan.
            Para ana-anak perempuan hanya tersenyum. Dan Jihanpun maju bergabung dengan Irfan, Aldi dan Rosi diiringi tepukan tangan yang sangat meriah.
            “Terimakasih terimakasih” kata Jihan. “Sebenarnya kamipun ingin meminta maaf pada kalian karena kami anak-anak perempuan sangat mudah emosi dan keras kepala. Sebenarnya kami tidak melawati jalan yang kalian rencanakan saat rapat kelas” kata Jihan lagi. Seluruh anak laki-laki saling pandang karena bingung. Irfan pun menatap Jihan bingung karena setau Irfan hanya jalan itulah jalan satu-satunya menuju dusun Kembang ini.
            Akhirnya Jihan bercerita mengenai pertemuannya dengan Bu Tuti dan suaminya. Tak lupa diceritakan juga tentang anak Bu Tuti dan medan jalan yang mereka lalui.
            Malam semakin larut cahaya bulanpun kian memanjakan pandangan mata yang memandangnya, maka dari itu acara api unggunpun di akhiri dengan saling berjabat tangan sambil mengucapkan selamat tidur. Dan merekapun menuju tenda masing-masing untuk tidur.

=TAMAT=


Minggu, 20 Agustus 2017

"SAVE ME" [BTS]

Aku ingin bernapas, aku benci malam ini
Aku ingin bangun, aku benci bermimpi
Aku terjebak didalam diriku sendiri dan aku mati
Tidak ingin kesepian
Hanya ingin menjadi milikmu
Mengapa sangat gelap disini?
Tidak ada dirimu ditempat ini
Ini berbahaya dan akan membuat ku hancur
Selamatkan aku karena aku tidak bisa mengerti diriku sendiri
Dengarkan hatiku
Yang memanggilmu dengan sendirinya
Karena disini diselimuti kegelapan
Kau adalah cahaya yang sangat terang
 
Ulurkan tanganmu selamatkan aku, selamatkan aku
Aku membutuhkan cintamu sebelum aku jatuh jatuh

Ulurkan tanganmu selamatkan aku, selamatkan aku

Selamatkan aku, selamatkan aku...
 
Hari ini bulan bersinar dikekosongan memoriku
Gila ini telah menelanku
Tolong selamatkan aku malam ini
Tolong selamatkan aku malam ini
Tolong selamatkan aku malam ini
Dengan kegilaan yang kekanak-kanakan ini
Kau pasti akan menyelamatkanku malam ini
 
Aku tahu itu bahwa kau adalah penyelamat
Satu-satunya dalam hidupku
Dan memberi bantuan jika hal yang menyakitkan datang
Yang terbaik dariku, kau adalah satu-satunya yang aku miliki
Tolong angkat suaramu sehingga aku bisa tertawa lagi
Mainkan!
Dengarkan hatiku..
Yang memanggilmu dengan sendirinya
Karena disini diselimuti kegelapan
Kau adalah cahaya yang sangat terang
 
Ulurkan tanganmu selamatkan aku, selamatkan aku
Aku membutuhkan cintamu sebelum aku jatuh jatuh
Ulurkan tanganmu  selamatkan aku, selamatkan aku
Aku membutuhkan cintamu sebelum aku jatuh
Ulurkan tanganmu selamatkan aku, selamatkan aku
Aku bersyukur untuk melakukan hal ini bagiku
Untuk membantuku terbang
Untuk memberikan sayap
Untuk memberi mereka untuk kehancuranku
Untuk bangun menahanku
Untuk bangun diriku yang tinggal hanya dalam mimpi
Karena aku bangun sambil memikirkanmu
Aku membuang semua kesedihanku
Terima kasih, untuk menjadi “kita”
Ulurkan tanganmu  selamatkan aku, selamatkan aku
Aku membutuhkan cintamu sebelum aku jatuh
Ulurkan tanganmu  selamatkan aku, selamatkan aku
Aku membutuhkan cintamu sebelum aku jatuh