Bersatunya Hati Pramuka Sejati
Oleh : Gita Risda
Garnisya
![]() |
penulis baper |
Hari dan tempat pelaksanaan
perkemahan sudah di tentukan. Irfan, Faujan, Asep dan Yusuf pun sudah meninjau langsung tempat perkemahan
tersebut. Tidak terlalu jauh memang, hanya melewati beberapa dusun dari tempat
mereka tinggal. Mereka telah mempelajari kedaan tempat yang akan mereka jadikan
tempat berkemah. Lagipula mereka tinggal di kaki gunung yang mana semua warga
disana sudah sangat dekat dengan alam tidak terkecuali anak-anak kelas 5A ini.
Pagi siang sore sampai malam mereka berbaur dengan alam, membantu orang tua di
kebun, mencari kayu bakar di pinggiran hutan, mencari ikan di sungai,
menggembalakan kambing, sapi hingga kerbau. Dan dari sanalah kemandirian dan
keberanian mereka tumbuh.
Irfan sedari kecil sudah cinta
dengan pramuka sudah sering sekali berkemah bersama ayahnya. Jadi sudah barang
tentu ia hafal betul tempat berkemah yang menyenangkan. Menurut Irfan tempat
tersebut haruslah sesuai dengan persyaratan perkemahan salah satunya yaitu
dekat dengan sumber air. Tempat yang mereka pilih ini mempunyai sumber air yang
lumayan dekat, letaknya yaitu di balik bukit kecil sekitar pohon pinus berupa
sungai berair jernih. Selain airnya jernih sungai itupun masih asri dan menjadi
tempat hunian ikan. Sudah terbayangkan oleh mereka bahwa nantinya mereka akan
menangkap ikan dan memanggangnya di api unggun.
Saat ini Irfan yang sedang berdiri
di depan kelas, dia menceritakan seluk beluk daerah yang akan di jadikan tempat
berkemah dengan antusias. Kasak kusuk suara anak-anak lain pun mulai terdengar
di ruang kelas 5A. Mereka semua sepertinya juga sudah sangat antusias dengan
rencana yang memang sudah lama di bincangkan untuk mengisi liburan sekolah.
Libur sekolah memang masih
menghitung bulan namun mereka sudah sepakat bahwa acara liburan kali ini
haruslah menyenangkan. Maka dari itu para siswa putra langsung mengajukan usul
berkemah. Sedangkan siswi putri pun juga sepertinya mulai tertarik dengan
rencana tersebut.
“Tapi kawan, perjalanan kita ke tempat
yang akan kita jadikan tempat berkemah itu lumayan berat.” Kata Irfan. “Benar,
untuk sampai ke sana kita harus melewati jalan-jalan kampung yang naik turun
bukit” sambung Asep yang juga sudah mengetahui rute tempat berkemah.
“Wah jika seperti itu apakan teman-teman yang
lain akan mampu mencapai tempat perkemahan dengan tepat waktu dengan
barang-barang yang sudah pasti kita bawa untuk perlengkapan berkemah, bagaimana
jika di tengah jalan mereka mengeluh bukakah akan sangat merepotkan” kali ini
Aldi angkat bicara sambal melirik pada sekumpulan siswi putri.
“Loh, bukankan kita memang sudah
terbiasa berjalan bahkan berlari naik turun bukit, jadi mengapa kamu meremehkan kami para anak perempuan ?” sahut Jihan.
Ia geram dengan sikap Aldi yang selalu meremehkan siswi putri. Padahal mereka
semua satu kelas. “Lagipula itu semua tidak menjadi halangan bagi kami anak
perempuan, benar kan teman-teman ?” kata Jihan dengan melirik anak-anak
perempuan yang lain. Dan dengan mantap anak-anak perempuan pun mengangguk
mantap.
“Sudahlah-sudah ” kali ini Rosi
sebagai ketua kelas mulai angkat suara. “Mengapa kalian jadi bertengkar begitu,
ini tidak baik bagi kekompakan kelas kita” ujar Rosi lagi.
“Bukan begitu Ros, kita hanya
khawatir karena kemarin kita ber empat sudah melihat langsung medan yang akan
kita tempuh. Karena itu aku pun sedikit meragukan anak perempuan sama seperti
Aldi” kata Yusuf yang semakin menyudutkan anak-anak perempuan.
“Sudahlah, kalian semua anak
laki-laki memang seperti itu, selalu meremehkan anak-anak perempuan sama
seperti kalian meremehkan kami pada saat turnamen olahraga pekan lalu.” Kali
ini Widad yang berbicara karena Jihan ternyata sudah meninggalkan kelas di
susul dengan anak-anak perempuan yang lain.
Rapat kelaspun akhirnya selesai dengan
diakhiri Rosi yang hanya bisa mengelus dada melihat kelakuan teman-temannya
yang selalu berbeda pendapat. Posisi Rosi saat ini memang sangat tidak di
untungkan, jabatannya sebagai ketua kelas menuntutnya bersikap netral. Dalam
hati Rosi membenarkan perkataan siswa putra namun disisi lain ia juga mengerti
perasaan para siswi putri.
Di kantin sekolah anak-anak
perempuan langsung mengambil tempat duduk yang nyaman. Memang di kelas 5A
jumlah anak-anak perempuan lebih sedikit di banding dengan jumlah anak laki-laki.
Siswi perempuan terdiri dari Jihan, Widad, Hesti, Venia, Intan, Andra dan Rena.
Diantar mereka memang Jihanlah yang paling tidak suka apabila ada yang membeda
bedakan antara siswa laki-laki dan perempuan, ia berperinsip bahwa jika sudah
ada tekad yang kuat maka apapun bisa di lakukan anak-anak perempuan.
“Ah, aku sangat kesal dengan sikap
anak-anak laki laki itu” kata Jihan sambal menyeruput es the manis yang ia
pesan dari mang Mamat. Di kalangan para pedagang memang katanya es teh manis
buatan mang Mamat ini TOP banget.
“Benar, aku juga kesal mereka selalu
saja menganggap kita anak-anak perempuan hanya bisa unggul di dalam kelas
saja.” Sahut Hesti.
“Tapi memang ada benarnya sih apa
yang dibilang Aldi, apa kita mampu mencapai tempat perkemahan dengan membawa
barang-barang berat dan berjalan kaki” kali ini Venia sebagai satu-satunya anak
yang selalu ranking satu di kelasnya. “Aku saja belum pernah berjalan jauh
seperti itu, paling jauh aku berjalan ke sekolah.” Lanjutnya lagi.
“Sudahlah Venia, kamu tidak perlu
risau kita pasti bisa kalau kita semangat dan bertekad kuat lagipula jaraknya
tidak terlalu jauh hanya harus naik turun bukit kecil saja. Lagi pula kamu kan
sudah susah payah meminta ijin dari orang tuamu” Kata Andra sambal menepuk bahu
Venia perlahan, untuk memberi semangat.
“betul itu, asal ada tekad dan
semangat yang kuat kita pasti bisa teman teman” kini Widad yang baru dating
langsung ikut bergabung, sembari menyeruput es teh manis Jihan. “Iya kan
teman-teman ?” sambungnya dengan menatap ketujuh temannya. Dan langsung di
sambut seruan “Semangat !” dari teman-temannya termasuk Intan, Salsa dan Rena
yang memang tidak banyak bicara.
Hari yang ditunggu-tunggupun
akhirnya tiba. Setiap siswa meminta ijin dan restu untuk mengikuti perkemahan ini
dengan orang tua masing-masing. Beberapa orang tua memang khawatir namun
setelah mengetahui lokasi dan keamanan tempat maka mereka pun memberi ijin.
Para siswa laki-laki sejak semalam
memang sudah berkumpul dan menginap di rumah Irfan untuk mempersiapkan
segalanya. Dengan penuh semangat mereka membagi tugas untuk membawa
barang-barang untuk berkemah. Pembagian tugas dilakukan oleh Rosi sang ketua
kelas yang dianngap paling dewasa pemikirannya agar pembagian tugas adil dan
merata.
Siswa laki-laki membagi diri menjadi
dua kelompok (regu) sesuai petunjuk
Rosi. Regu pertama yaitu regu Singa yang di ketuai oleh Faujan dengan anggota
Irfan, Aldi, Riffa, Dodong, Alfath, dan Yusuf sedangkan kelompok dua yaitu regu
Macan diketuai oleh Rosi sendiri dengan anggota Hidayat, Asep, Faizal, Arief,
Radit, Debi, dan Yuda. Mereka saat ini sibuk berkemas daan sebagian lagi sibuk
membersihkan diri.
“Untunglah para anak-anak perempuan
tidak ikut perkemahan ini, jika mereka ikut sudah dapat di bayangkan semakin
beratlah beban kita.” Kata Aldi sambal memasukan barang bawaannya.
Kokok ayam dan suara adzan di masjid
mulai terdengar. Mereka kini sudah siap dengan pakaian pramuka namun tidak lupa
mereka melaksanakan shalat subuh berjamaan di masjid dekat rumah Irfan. Selesai
shalat mereka langsung bersiap memakai perlegkapan dan sarapan. Tas ransel yang
mereka gendong di punggung tampak menggembung karena penuh berbagai barang
namun tidak lupa Irfan mengajarkan bahwa penataan di dalam tas harus seuai agar
nanti tidak mudah lelah, seperti menyimpan barang yang ringan di bagian bawah
tas. Tak lupa setiap orang membawa satu tongkat. Yang pasti sangat banyak
gunanya di perjalanan maupun di perkemahan.
“Baiklah kawan-kawan, matahari sudah
menyambut kita. Sebaiknya kita segera berangkat namun sebelum itu sebaiknya
kita berdoa terlebih dahulu agar perjalanan kita lancar sampai tujuan. Berdoa
di mulai” Irfan memimpin doa sebelum perjalanan di mulai. Semua siswa putra
berdoa dengan sepenuh hati dengan semangat yang membara.
Di tempat lain, Venia sedang
mengikat rambutnya di depan cermin, rambut ikalnya di ikat seperti ekor kuda
kemudian dengan wajah berseri ia mengambil topi pramukanya. Di sampingnya
nampak Andra dan Jihan sedang memasukan barang-barang ke dalam tas, sedangkan
Rena dan Widad sedang meyiapkan tujuh pasang sepatu yang sudah berjejer di
depan pintu. Dari dapur juga muncul Hesti membawa beberapa bungkusan nasi dan
beberapa bungkusan lauk pauk. Ternyata mereka sejak semalam menginap di Rumah Venia. Mereka sudah memakai
pakaian pramuka lengkap setelah shalat subuh
tadi.
“Baiklah, barang-barang sudah di
tata dalam tas. Makanan pun sudah siap untuk di bawa.” Kata Jihan. “Bagaimana
dengan tongkatnya apa kalian membawa seorang satu ?” tanyanya lagi.
“Sudah, tadi sudah ku hitung
tongkat nya, ada tujuh buah”
“oke, sip. Karena kita baru selesai
sarapan tidak baik apabila langsung memulai perjalanan . Kalau begitu duapuluh
menit lagi kita berangkat. Jika tidak cepat maka kita akan di dahului oleh
anak-anak laki-laki.
Jauh dari perkiraan anak-anak
laki-laki, ternyata anak-anak perempuan sudah membulatkan tekad untuk mengikuti
acara perkemahan tersebut. Rute sudah mereka ketahui dari cerita Irfan saat
rapat kelas maka tidak ada hambatan lain yang menghalangi mereka untuk
mengikuti perkemahan. Lagipula ternyata lokasi mereka akan berkemah dekat
dengan rumah kakek dan nenek Rena. Jadi mereka tidak perlu khawatir. Dan Rena
pun sudah menjelaskan bahwa ia hafal betul daerah itu karena dekat perkebunan
kakek neneknya. Sejak kecil ia sudah sering sekali bermain disana.
Dua puluh menit kemudian mereka
sudah berangkat dengan diawali berdoa bersama. Dengan langkah mantap, mereka
mulai berjalan. Rumah demi rumah penduduk mereka lewati. Beberapa anak kecil
bersorak-sorak melihat kakak-kakak nya memakai seraga pramuka dengan gagah
seperti pasukan wanita yang akan pergi berperang.
Di tempat lain, satu setengah jam
perjalanan anak-anak laki laki mulai memasuki areal perbukitan mereka dengan
semangat membara terus berjalan sambil sesekali bersenandung ria.
“Kami regu singa dan regu macan akan
selalu menerjang badai, walau rintangan menghadang semangat kami tak akan
pernah hilang.” Yel yel mereka sangat lantang di kumandangkan. Para petani
bawang tersenyum melihat semangat anak-anak itu. Mereka bangga bahwa di jaman
sekarang masih ada anak yang mempunyai semangat tinggi seperti itu.
“Selamat pagi pak ,,,selamat pagi
bu,,,” Faujan berkata ramah ketika melewati beberapa petani bawang.
“Ujang-ujang mau pada kemana ini, ko kelihatannya semangat sekali?” tanya bapak-bapak petani bawang. “Kami ingin
ke dusun Kembang pak di balik bukit” jawab Faujan` “Kami permisi dulu pak”
sambung faujan. “Iya hati-hati jang”.
Kelimabelas anak tersebut kembali
berjalan menelusuri kebun bawang. Namun di perjalanan tiba-tiba Riffa berhenti
dan langsung terduduk di pematang perekbunan tomat sambal memegangi kakinya.
“Yud, kamu kenapa ?” tanya Rosi
sebagai ketua regu macan. “Gak tau nih, kakiku sakit sekali rasanya perih,
sebenarnya sedari tadi sudah di tahan tapi ternyata aku tidak kuat” kata Yuda
lirih. Yuda yang bertubuh gempal itu terlihat menahan sakit dan selain itu ia
pun terlihat kelelahan.
“Ayo cepat buka sepatunya” Debi yang
memang teman sebangku Yuda langsung meminta bantuan kawan-kawannya untuk
membuka sepatu Yuda. Dan ternyata benar, tumit Yuda berdarah karena lecet oleh
gesekan sepatu dan kaos kakinya.
“Wah kakimu berdarah Yud, kenapa
kamu baru bilang sekarang?” kata Debi lagi. “Yud, seharusnya kamu bilang dari
awal supaya lukanya tidak seperti ini. Sambung Hidayat.
“Iya maaf, aku malu untuk bilang
karena kalian sangat bersemangat aku fikir aku akan tahan sampai kita tiba di
tempat perkemahan.” Yuda tertunduk menahan perih di kakinya. Ia malu pada
teman-temannya karena pasti dengen kondidinya yang seperti ini akan menghambat
perjalannan mereka.
Akhirnya regu singa dan regu macan
sepakat untuk beristirahat di salah satu
“saung” di area kebun bawang. Arief, radit, Dodong dan Alfath mencari sumber
air yang bersih untuk mencucui luka Yuda karena tidak mungkin mencuci luka
dengan persediaan air minum mereka yang tinggal sedikit sedangkan perjalanan
mereka masih beberapa jam lagi. Sedangkan yang lain menunggu di saung sambil
memikirkan rencana selanjutnya yang pasti sudah sedikit berubah karena
keterlambatan mereka tiba di tempat perkemahan.
Sedangkan saat ini regu melati sudah
mulai memasuki area perbukitan kebun bawang. Mereka tersenyum ramah pada para
petani bawang yang mereka lewati malah beberapa kali saling bertegur sapa.
Hingga mereka bertemu sepasang suami istri petani bawang saat mereka sedang
beristirahat sebentar untuk minum. Bapak itu langsung bertanya “Loh, neng-neng
ini mau ke dusun kembang di balik bukit itu ya?” katanya. “Iya pak, kok bapak
tau kami mau ke sana ?” tanya Jihan. “Tadi, bapak melihat anak-anak laki-laki
sepantaran kalian juga lewat sini pakai pakaian pramuka juga.” Bapak itu pun
menceritakan perjumpaannya dengan regu macan dan singa.
“Wah kalau begitu kita sudah
tertinggal, aku fikir kita akan tiba di sana lebih dulu.” Kata Widad sambil
menekukkan wajahnya. Ia sudah membayangkan bahwa kelompok melati yang berangkat
sejak setelah subuh tadi akan tiba terlebih dahulu dan membalas perlakuan para
anak laki-laki.
“Sudahlah tidak apa apa. Sepertinya
rencana kita mendahului mereka gagal total” sambung Intan.
Bapak dan Ibu petani tadi
mendengarkan seluruh percakapan anak-anak regu melati. Dan akhirnya ibu itu
berkata “neng-neng semua mau cepat sampai di dusun Kembang ?”
Serentak anak-anak regu melati pun
berkata “Iya bu”
“Wah kebetulan sekali, rumah ibu
memang di sana dan sekarang ibu mau pulang. Lagi pula ibu tadi hanya
mengantarkan bekal makanan untuk bapak saja. Ayo neng kita berangkat sekarang,
ibu tau jalan memotong untuk tiba di sana” Kata ibu tadi. Dan ibu itu
berpamitan dengan suaminya begitu juga dengan anak-anak regu melati. Wajah
ceria penuh semangat kembali menghiasi langkah regu melati.
Di tengah perjalanan mereka sangat
senang mengobrol dengan ibu Tuti. Ternyata jalan memotong itu melalui jalan
kecil menanjak yang melewati pematang kebun bawang. Kemudian melewati pematang
kebun tomat yang berakhir di ujung pematang yang ternyata sebuah sungai. Anak
anak regu melati bingung karena tidak melihat jembatan di sana. Namun bu Tuti
terlihat tenang dan berbelok kearah jalan kecil di kanan pematang yang jalannya
hampir tertutup semak-semak. Dan terrlihatlah jembatan kecil yang terbuat dari
bamboo dan sangat rapih. Akhirnya merekapun meniti jembatan dengan hati-hati
secara bergiliran.
“Nah anak-anak inilah jalan pintas
kita. Kalau jalan yang kalian lalui tadi itu memutari bukit sedangkan jalan ini
melewati bukit walau harus naik turun namun jalan ini membawa kita lebih cepat
ke dusun kembang. Tapi kalian harus hati hati jika lewat sini jangan sampai
tidak dengan orang dewasa, bahaya jalannya agak licin.” Kata bu Tuti
menasehati. Anak anak regu melati pun mengangguk faham.
“Bu, ibu sudah sering ya pulang pergi dari
rumah ke kebun dengan bapak ? apa tidak lelah berjalan sangat jauh ?” tanya
Venia yang berjalan di samping ibu Tuti.
“Tidak, ibu sangat suka sekali
berjalan melewati bukit ini. Melewati sungai dan perkebunan, itu sangat
menyenangkan. Ibu merasa lebih dekat dengan alam dan anak ibu juga sangat suka
sekali melewati jalan ini di bandingkan jalan kampung.”
Tak terasa, anak-anak regu melati
sudah tiba di perbatasan dusun. Ternyata
jalan yang mereka bayangkan akan melelahkan sangatlah menyenangkan. Dan regu
melatipun berpamitan pada bu Tuti dengan mengkatakan banyak terimakasih. Regu
melati dan Bu Tuti berpisah di persimpangan jalan. Ternyata Bu Tuti mempunyai
anak yang mungkin saat ini seusia mereka hanya saja lima tahun lalu anaknya
meninggal karena sakit. Bu Tuti berkata bahwa Ia bangga pada anak-anak seperti
mereka Karena masih mau berbaur dengan alam dalam kegiatan pramuka. Bu Tuti
berpesan agar anak-anak regu melati menjadi anak-anak yang mandiri dan
bertanggung jawab.
“Sepertinya bu Tuti sangat sayang ya
pada anaknya ?” kata Hesti setelah mereka melambaikan tangan pada Bu Tuti dan
melanjutkan perjalanannya. “Benar, aku sampai terharu mendengar ceritanya”
timpal Widad. “Aku juga, jadi rindu ibu di rumah” kali ini Venia berkata lirih
dan tanpa di komando semuanya tiba-tiba berpelukan. Mereka kini merasakan
betapa besar cinta seorang ibu dan mereka juga bersyukur sampai saat ini mereka
masih bisa bernafas, masih bisa merasakan pelukan kedua orang tua di rumah.
Mereka bertekad bahwa mereka akan menjalani hidup dengan sangat baik dan penuh
rasa syukur.
“Hey, bagaimana dengan kakimun Yud
?” kata Faujan pada Yuda yang sedang berjalan dengan agak terpincang-pincang.
Kini kaki kirinya sudah di balut perban. Lukanya tidak seberapa hanya saja jika
dipaksakan memakai sepatu maka lukanya akan semakin besar. “Sudah Fau, aku
sudah tidak apa-apa. “Terimakasih teman-teman” kata Yuda sambil tersenyum.
Merekapun melajutkan kembali perjalanan masih dengan senyum dan semangat.
Beberapa jam kemudian tibalah mereka
di tempat yang telah mereka tentukan.
“Selamat datang kawan…akhirnya tiba
juga di tempat ini. Selamat untuk kita semua regu singa dan macan” Kata Irfan
denga n bangga. Di raihnya tangan Faujan dan Rosi “Selamat untuk kalian, kalian
ketua regu yang hebat.” Dengan serempak mereka semua bertepuk tangan daan
bersorak.
Tak perlu waktu banyak, para anak
laki-laki sibuk mendirikan tenda, mereka saling membantu. Beberapa anak yang
ahli pionering langsung membuat tihang bendera, tandu dan rak sepatu juga
pagar, sebagian lagi membuat dapur dadakan untuk nanti memasak. Setelah
semuanya selesai mereka berkumpul.
“Nah tugas kita yang pertama sudah
selesai, setelah ini yang harus kita lakukan adalah mencari kayu bakar dan air.
Kita bagi tugas. Semua anggota regu macan kecuali Yuda bersama saya mencari
kayu bakar, sedangkan anggota regu Singa silahkan pilih empat orang mengambil
air dan tiga orang sisanya menjaga tenda sambil siapkan bahan-bahan makanan
karena kita akan memasak.” Rosi memberi komando, dan pergilah semua anggota
regu Macan untuk mencari kayu bakar. Sedangkan Yusuf, Aldi, Riffa, dan Dodong
mengambil air dan sisanya Irfan, Alfath Faujan
menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak dibantu Yuda yang kakinya masih
sakit.
Jalan untuk menuju sumber air
tidaklah terlalu jauh hanya melewati jalan kecil berbukit. Dan saat sudah
terdengar suara gemericik air Yusuf, Aldi, Riffa dan Dodongpun langsung
bergegas. Tapi tanpa mereka duga jalan mereka terhalang pagar kayu setinggi
perut. Merekapun terkaget-kaget saat melihat ternyata bendera regu melati telah
melambai-lambai di atas sebuah tongkat pramuka. Tidak jauh dari sana terlihat bebrapa
anak regu melati sedang beristirahat. Beberapa anak sedang makan. Dan seolah
menyadari adanya orang lain di dekat tenda mereka, beberapa anak perempuan
menoleh pada Yusuf, Aldi, Dodong dan Riffa yang menatap mereka semua.
“Wah-wah, rupanya ada anak-anak
laki-laki disini. Mau apa kalian kesini” kata Jihan ketus.” ,
“Kenapa kalian bisa ada disini ?”
Aldi balik bertanya. Ia bingung, kenapa bisa anak-anak perempuan ini ada
disini. Bukankan regu singa dan macan sudah berangkat sedari subuh mula. Tapi mengapa
mereka tidak bertemu regu melati di perjalanan. Apa mereka berkemah sedari
kemarin. Tapi tidak mungkin juga karena kemarin Aldi jelas-jelas melihat Andra
melintas di depan rumahnya kemarin sore. Jika mereka berangkat malam, itu juga
tidak mungkin.
Berbagai pertanyaan bermunculan di
kepala Aldi, begitu juga dengan Yusuf, Dodong dan Riffa, yang hanya
terbengong-bengong melihat tenda yang sudah berdiri sempurna dengan segala
peralatan lainnya.
“Kenapa kalian selalu saja
meremehkan anak-anak perempuan. Lihatlah saat ini kami lebih unggul daripada
anak-anak laki-laki” kata Jihan dengan senyum mengejek.
“Memang benar, anak-anak perempuan
itu manja, dan sangat menyusahkan.” Gerutu Aldi yang suaranya terdengar sampai
telingan anak-anak perempuan terutama Jihan yang berdiri di hadapannya.
“Kamu memang sombong, kenapa kamu
selalu saja memojokkan dan merendahkan kami karena kami anak-anak perempuan.
Asal kalian tau, kami anak-anak perempuan juga bisa melakukan apa yang
laki-laki lakukan.” Tegas Jihan dengan suara yang agak tinggi.
“Sudahlah-sudah, kenapa kalian
berdua bertengkar. Jihan, kami tidak merendahkan kalian hanya saja seperti yang
aku katakan saat rapat tempo hari, kami hanya khawatir pada kondisi anak-anak
perempuan. Dan memang saat ini kalian telah berhasil membuktikan pada kami
bahwa kalian hebat, kami akui itu” kali ini Yusuf berusaha melerai.
“Itu menurut kamu Yusuf, tapi apakan
anak-anak laki laki yang lain berfikiran sama sepertimu ? Mereka pasti masih
saja merendahkan kami anak-anak perempuan.” Kata Jihan lagi.
Semua terdiam, Dodong dan Riffa pun
hanya saling melirik satu sama lain. Sedangkan Aldi memilih untuk pergi dengan
cara yang menurut Jihan tidak sopan.
“Lihatlah teman mu itu Yusuf, apakah
baik bersikap seperti itu ? kalian sama saja.” Kata Jihan sambil berbalik
menuju tenda meninggalkan ketiga anak-laki laki yang masih kebingungan. Yusuf
akhirnya berteriak supaya Jihan dan teman-temannya mendengar “Baiklah Jihan
saya akan berbicara pada yang lain agar mereka mau meminta maaf”. Jihan hanya
menengok sekilas kemudian masuk ke dalam tenda dan anak-anak perempuan yang
lain hanya menatap dengan tatapan yang sulit dimengerti.
Setelah berbicara seperti itu,
Yusuf, Dodong dan Riffa pun berbalik hendak kembali ke tenda mereka. Namun baru
beberapa langkah seseorang memanggil mereka .
“Ini ambilah, aku tau kalian sangat
butuh ini. Pasti kalian belum makan.” Hesti memberikan dua ember air yang banyak untuk memasak. “Tenang saja, Jihan
mengijinkan dia juga pasti tidak tega melihat kalian kelaparan. Lagipula kita
kan masih teman satu kelas” kata Hesti lagi. Kali ini senyum merekah dari
ketiga anak laki-laki tersebut. Mereka bersyukur karena ternyata anak-anak
perempuan masih peduli pada mereka.
“Baiklah Hesti, sampaikan
terimakasih ku pada seluruh regu melati. Kami permisi dulu.” Kata Yusuf dengan
menerima air tersebut dan memindahkannya ke ember yang sudah mereka bawa
sendiri.
Anak-anak yang medapat tugas
mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak
sudah lama menunggu kedatangan Yusuf, Dodong dan Riffa. Karena walaupun Aldi
sedari tadi sudah tiba di tenda duluan hanya menjawab tidak tau saat di tanya
mengenai air yang mereka ambil. Mereka tidak mendapat informasi apapun dari
Aldi karena dia hanya diam seribu bahasa membuat teman temannya kesal sendiri.
Akhirnya ketiga anak yang diberi
tugas mengambi air tiba di tend. “Lama
sekali kalian” tanya Irfan. “Bukannya
air di sungai itu sangat banyak, tidak mungkin sungai itu tiba-tiba kering dan
kalian mencari ke tempat lain yang lebih jauhkan ?” tambah Irfan lagi.
Mereka bertiga saling pandang dan
mereka menemukan Aldi di tenda. Ternyata Aldi tidak bercerita apapun tentang
pertemuannya dengan regu melati kata Yusuf dalam hati.
“Sebenarnya kami tadi bertemu dengan
anak-anak perempuan.” Ucap Dodong.
“Anak-anak perempuan yang mana ?”
tanya Yuda yang sejak tadi sibuk memijit-mijit kakinya yang masih sakit.
“Mereka,,,regu melati. Regu melati
ada disini, mereka berkemah disini” Kata Yusuf yang kemudian menunggu reaksi
teman-temanya.
Namun tiba-tiba terdengar sebuah
suara dari belakang Yusuf “Apa ? regu
Melati ? mereka disini ?” ternyata Rosi yang baru tiba dengan kayu bakar di
tangan mendengar ucapan Yusuf. “Kapan mereka tiba disni ? bukankah kita
berangkat pagi-pagi buta dan di perjalanan pun kita tidak bertemu mereka.” Rosi
sangat terkejut. Bukan aapa-apa dia selaku ketua kelas merasa kaget karena ia
memiliki tanggung jawab yang besar pada acara kali ini. Ia khawatir, namun tak
dapat dipungkiri ia juga bangga akan keberanian dan semangat anak-anak perempuan
di kelasnya.
“wah rupanya kita sudah kebobolan.
Mereka pasti tau tempat ini karena kita kan mendisusikan rencana perkemahan ini
di dalam kelas dan mereka semu hadir disana. Rupanya mereka merencanakan hal
yang sama juga.” Kata Radit.
“Seharusnya saat itu, kita tidak
membahas rencana perkemahan ini di kelas agar mereka anak-anak perempuan tidak
ikut dalam perkemahan ini” kata Aldi
pula dengan tetap berwajah masam karena kesal.
“Tapi mereka juga tidak salah,
karena memang bukankah rencana perkemahan ini acara kelas. Maka sudah
sewajarnya mereka tau” timpal Faujan.
“Benar teman-teman kita ini anggota
kelas lima, kita ini seharusnya seperti sebuah keluarga yang selalu
bersama-sama. Bukan terpecah belah seperti ini. Harusnya kita malu, mereka anak
perempuan bukan keras kepala tapi kita lah yang sombong. Jangan kira karena
mereka perempuan dan tidak bisa mengikuti perkemahan seperti ini. Malah jujur
aku bangga pada mereka regu melati, mereka berani, mereka pintar, entah
bagaimana caranya mereka tiba disini lebi dahulu kita harus hargai mereka.”
Kali ini Rosi berkata dengan segenap jiwa. Ia meraih teman temannya agar mereka
sadar bahwa kesombongan itu tidaklah baik. “Apa kalian lupa cerita bu Guru
tentang para pejuang kemerdekaan tidak
semua laki-laki banyak juga pejuang perempuan, ada Raden Ajeng Kartini, Dewi
Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Mutia dan
masih banyak lagi. Mereka membuktikan bahwa wanita juga memiliki hak yang sama
dengan kaum pria mereka juga pemberani dan berhati mulia. Ingat bagaimanapun
kita laki-laki, tidak pantaslah untuk bertengkar dengan perempuan.” Tambah nya
lagi.
Mendengar kata-kata Rosi. Semua anak
laki-laki terdiam.
“Benar, sebagai laki-laki kita harus
berjiwa kesatria, Ingat Dasa Dharma Pramuka yang ke tiga, Patriot yang sopan
dan kesatria.” Tambah Rosi lagi.
“Baiklah Ros, sebaiknya kita harus
meminta maaf pada mereka. Bagaimana teman-teman kalian mau kan meminta maaf
terlebih dahulu pada regu melati ?” Faujan memandangi teman-temannya satu persatu
hingga mereka mengangguk tanda setuju. Terakhir pada Aldi “Aldi bagaimana ?
kamu mau kan ikut kami untuk meminta maaf pada regu melati ?” tanya Faujan
lagi.
Aldi menoleh sebentar lalu
mengangguk sedikit. Namun Faujan mengerti sifat kawannya yang satu itu.
“Baiklah nanti kita temui regu
melati setelah shalat dzuhur. Biar air yang kalian bawa tadi kita gunakan dulu
untuk berwudhu, bagaimanapun kita tidak boleh mninggalkan shalat.” Kata Rosi.
Setelah selesai shalat, Faujan dan Rosi selaku ketua dari regu macan
dan regu singa bergegas menuju tenda regu melati. Sebelum mereka berdua berangkat, Aldi membisikan sesuatu pada Rosi
. Rosi mengangguk, kemudian pergilah ia bersama Faujan.
Sementara itu waktu sudah hampir
sore. Matahari yang tadi bersinar sangat terik di atas kepa mereka kini mulai
bergeser kearah barat. Anak-anak perempuan sedang membersihkan peralatan
memasak mereka.
Dari kejauhan terlihat Rosi dan
Faujan menghampiri tenda mereka. Tenda yang dibuat regu melati memang hampir
seluruhnya menghalangi jalan untuk menuju sungai, mereka membuat tenda di
antara pohon-pohon yang berdaun rendah
hingga terasa sedikit sejuk karena sinar matahari tidak langsung menerpa
tenda mereka.
“Ada apa kalian semua datang kesini
?” tanya Widad dengan ketus. Kemudian di susul suara Jihan yang keluar dari
tenda. “Atau kalian mau menyerbu kami ? kalian fikir kami takut” kata Jihan
lagi tidak kalah ketus. Mendengar Widad dan Jihan maka anak-anak perempuan yang
lainpun ikut berbaur dengan Jihan dan Widad.
“Tidak Jihan, kami tidak ingin
bertengkar. Kami hanya ingin meminta maaf pada kalian.” Kata Rosi. “Kami tau,
kami sangat sombong hingga merendahkan kalian. Kami mengaku kalah, kalian memang hebat” tambahnya lagi.
“Benarkah kalian meminta maaf ?
bukan karena kalian ingin di perbolehkan mengambil air di tempat kami ?” kata
JIhan.
“Bukan Jihan, bukan. Kami benar
benar minta maaf.” Kata Faujan.
“Baiklah, permohonan maaf kalian
kami terima” kata Jihan mewakili anggota
regu melati yang lain. Akhirnya mereka berjabat tangan tanda berdamai.
“Namun, sebelum kami kembali ke
tenda, kami ingin meminta permohonan pada kalian ?” kata Rosi. Faujan hanya
memandang bingung.
“Permohonan apa itu, katakanlah”
kata Jihan
“Aku mau kalian pindahkan tenda
kalian dari sini”
“Loh kenapa ? apa agar kalian
leluasa mengambil air melewati tenda kami ?”
“Bukan begitu Jihan. Apa kamu lupa
pelajaran pramuka bahwa tanah yang
lapang lebih aman daripada berkemah diantara pepohonan dan akar-akar besar
seperti ini. Semak semak seperti ini berbahaya karena ular dan binatang lain
tinggal di tempat seperti ini. Lagipula kalian hanya bertujuh, lebih baik
kalian membuat tenda di dekat tenda kami bagaimanapun kita harus saling
melindungi satu sama lain” Kata Rosi menasehati.
Jihan dan anak-anak perempuan
terdiam membenarkan kata kata Rosi. Jihan akhirnya menyetujui saran Rosi karena
memang benar akan sangat menyeramkan berkemah di sini
Beberapa jam kemudian, mata hari
kini benarbenar di telan bumi menyisakan guratan-guratan merah yang sangat
cantik di langit. Beberapa anak perempuan sibuk mendirikan tenda regu melati,
di bantu dengan anak-anak laki-laki dari regu macan dan regu singa. Sebagian
lagi menyiapkan makanan dan sebagian lagi membersihkan badan ke sungai secara
bergiliran.
Hingga malam tiba mereka masih
sibuk. Kini tenda regu melati sudah berdiri hanya tibggal merapikan
barang-barang bawaan mereka saja. Tenda anak-anak perempuan berada di sebrang
tenda regu macan hanya dibatasi pagar yang mereka bawa dari rumah.
Jam 8 malam setelah shalat isya
berjamaah, mereka semua berkumpul mengitari api unggun. Sebelumnya saat
menjelang maghrib ternyata Bu tuti dan suaminya berkunjung dan membawakan
mereka ikan mas dan beberapa jagung untuk mereka. Kini mereka dengan lahapnya menyantap ikan
mas bakar dan juga jagung bakar dari Bu Tuti.
Memang semuanya di luar rencana
ternyata di malam pertama ini mereka akan berkumpul dalam perkemahan
bersama-sama di bawah sinar bulan purnama yang sangat indah. Kini ketegangan
antara regu melati dengan regu macan dan singa sudah terlupakan. Kali ini
mereka makan bersama, bekerja bersama dan tertawa bersama. Yuda yang kakinya
sempat terlukapun kini sudah lebuh baik karena sore tadi Intan yang membawa
kota P3K lengkap langsung mengobati kembali kaki Yuda yang tadi siang hanya di obati sedanya.
Api unggun makin berkobar. Selesai
makan kali ini mereka dengan khidmat menyanyikan lagu bersama sama diiringi
oleh Hidayat yang bermain gitar. Malam
makin larut namun mereka semakin semarak. Beberapa anggota keamanan desa
setempat beberapa kali melihat keadaan perkemahan karena tetap saja anak-anak
ini masih duduk di bangku sekolah dasar dan masih butuh penjagaan orang dewasa.
Di tengah kemeriahan acara api
unggun, Aldi tiba tiba berdiri di hadapan teman temannya. Beberapa anak yang
sedang bernyanyi langsung berhenti, mereka semua menatap Aldi dengan heran.
“Teman-teman aku mau meminta maaf
pada regu melati terutama pada Jihan. Aku selalu bersikap buruk pada kalian
anak-anak perempuan. Sebenarnya aku iri karena kalian selalu lebih unggul
daripada anak-anak laki-laki di dalam kelas. Dan saat ini aku sadar bahwa
kalian memang hebat” ucap Aldi dengan di akhiri tepukan tangan dari semua anak.
“Terimakasih Aldi, saya bangga
mempunyai teman spertimu yang mau mengakui kehebatan orang lain. Baiklah
teman-teman semua, malam ini marilah kira rayakan bersatunya kembali kelas kita
tanpa permusuhan tanpa pertengkaran.Semoga kelas kita akan selalu kompak
seperti ini.” Kata Rosi yang menghampiri Aldi di iringi tepuk tangan dari semua
anak-anak yang ada disana.
Kali ini Irfan yang berdiri maju ke
depan teman-temannya menghampiri Rosi dan Aldi.
“Benar sekali, selain itu saya
mewakili anak-anak laki laki sekalimengucapkan selamat kepada regu melati.
Kalian hebat dan kalian pemberani regu
melati, dan ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Bagaimana kalian tiba di sini
tanpa berpapasan dengan kami ?” tanya Irfan.
Para ana-anak perempuan hanya
tersenyum. Dan Jihanpun maju bergabung dengan Irfan, Aldi dan Rosi diiringi
tepukan tangan yang sangat meriah.
“Terimakasih terimakasih” kata
Jihan. “Sebenarnya kamipun ingin meminta maaf pada kalian karena kami anak-anak
perempuan sangat mudah emosi dan keras kepala. Sebenarnya kami tidak melawati
jalan yang kalian rencanakan saat rapat kelas” kata Jihan lagi. Seluruh anak
laki-laki saling pandang karena bingung. Irfan pun menatap Jihan bingung karena
setau Irfan hanya jalan itulah jalan satu-satunya menuju dusun Kembang ini.
Akhirnya Jihan bercerita mengenai
pertemuannya dengan Bu Tuti dan suaminya. Tak lupa diceritakan juga tentang
anak Bu Tuti dan medan jalan yang mereka lalui.
Malam semakin larut cahaya bulanpun
kian memanjakan pandangan mata yang memandangnya, maka dari itu acara api
unggunpun di akhiri dengan saling berjabat tangan sambil mengucapkan selamat
tidur. Dan merekapun menuju tenda masing-masing untuk tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar